Saat ini kapasitas tempat tidur rumah sakit rujukan Covid-19 di sejumlah daerah sudah over kapasitas. Ini seiring dengan melonjaknya kasus Covid-19 di Tanah Air. Jumat (18/6) kemarin, temuan kasus baru memecahkan rekor selama pandemi, yakni 12.990 kasus. Kenaikan ini terjadi setelah libur lebaran kemarin.
Kondisi ini dikhawatirkan banyak pihak yang bisa saja memicu gelombang tsunami Covid-19. Salah satunya diungkap Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Zubairi Djoerban. Zubairi berharap data yang tersaji adalah gambaran pandemi yang mesti disikapi secara serius oleh pemerintah. Menurutnya, kondisi ini juga harus dipikirkan Pemerintah Indonesia.
Sebaiknya, kebijakan yang diambil hanya memikirkan soal penanganan Covid-19. Bahkan, Zubairi Djoerban kembali menyampaikan sarannya agar pemangku kebijakan mengambil langkah penguncian atau lockdown. Saya kembali ulangi saran saya: lockdown!,” tegasnya melalui akun Twitter pribadinya, Jumat (18/6).
Ia menilai, liburan dan beragam perjalanan tidak penting harus dihentikan untuk sementara waktu. Pun demikian dengan rencana pemberlakuan pembelajran tatap muka (PTM) pada akhir Juni ini.
“Jangan dulu,” tekan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Karenanya, dia meminta pemerintah bertindak cepat dengan melakukan lockdown. Jika terlambat atau malah tidak sama sekali, akan mendatangkan konsekuensi yang mengerikan. Lakukan lockdown sebelum telat. Situasi bisa berubah jadi mengerikan,” tandasnya.
Hal senada juga disampaikan Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono. “Kalau ada varian baru (India), bukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tapi (harus) lockdown,” tegasnya.
Konsep lockdown yang dimaksud Tri adalah dengan menyesuaikan distribusi persebaran kasusnya. Misalnya saat ini terjadi ledakan di Kudus, Bangkalan, dan Jepara. Maka kabupaten-kabupaten itu harus di-lockdown. Tergantung distribusinya. Harusnya Kudus lockdown, Kabupaten Bangkalan juga. Provinsi DKI Jakarta juga harus di-lockdown,” sambungnya.
Tri juga menyesalkan perilaku masyarakat yang terkesan acuh dengan tetap berkumpul tanpa menerapkan protokol kesehatan. Artinya, kata Tri, secara tidak langsung masyarakat membiarkan dan ikut menciptakan kondisi kolaps terjadi. Silakan saja masyarakat kalau mau kolaps. Masyarakat ini juga minta ampun,” sesalnya.
Tri menyinggung saat mudik lebaran kemarin yang terjadi kerumunan meski pemerintah sudah menerapkan larangan mudik. Saya menangis, saya menangis. Melihat kerumunan, saya takut seperti ini. Seperti Kudus, Bangkalan, menyusul seperti Tangerang lalu Bandung, saya takut,” ungkapnya.
Menurutnya, saat dunia menghadapi varian baru Delta dari India, artinya dunia menghadapi musuh yang berbeda. Maka salah satu upaya yang paling efektif adalah lockdown. Dengan lockdown, anak muda akan berhenti kumpul-kumpul, kalau lockdown kan dikunci. Kita berhadapan dengan musuh berbeda. Kalau musuhnya sama okelah,” katanya.
Tri Yunis juga khawatir jika di hulu pemerintah tak menarik rem darurat, maka ketersediaan tempat tidur rumah sakit (BOR) akan semakin kritis. “Ini saja sudah kolaps,” tandasnya.